Peran penting Sangiran dalam penelitian evolusi manusia pertama kali ditemukan oleh GHR von Koenigswald tahun 1936. Ia meneliti Sangiran setelah Eugene Dubois menemukan fosil Pithecanthropus erectus di Trinil Ngawi, Jawa Timur, lebih dari seabad lalu. Setelah temuan Dubois, pencarian lokasi penyebaran Pithecanthropus erectus diteruskan ke berbagai daerah, seperti Ngandong (Klaten), Sangiran (Sragen), Mojokerto, Sambung Macan (Sragen), dan Patiayam (Kudus).
Koenigswald menemukan fosil manusia pertama di Sangiran yang ternyata ada kaitan dengan fosil di Trinil. Kawasan seluas 56 kilometer persegi dan berbentuk cekungan ini 10 tahun belakangan terus digali oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional bekerja sama dengan Museum National d’Histoire Naturelle Perancis.
Sangiran, selain menjadi tonggak temuan evolusi manusia, juga menyimpan bukti yang menggambarkan perubahan lingkungan purba Sangiran. Dari hasil penggalian lapisan tanah di Sangiran dapat diketahui kondisi lingkungan purba Sangiran.
Ditelisik dari lapisan tanah yang ada, lingkungan purba Sangiran mengalami perubahan secara bertahap. Pada periode 2,4 juta-1,8 juta tahun lalu, Sangiran masih berupa lautan dengan ditemukannya formasi Kalibeng atau lempung biru yang menjadi ciri utama lingkungan laut.
Lapisan tanah di atas formasi Kalibeng berturut-turut adalah Formasi Pucangan (1,8 juta- 900.000 tahun lalu), Grenzbank (900.000-730.000 tahun lalu), Formasi Kabuh (730.000- 250.000 tahun lalu), dan Formasi Notopuro (250.000 tahun lalu-sekarang). Masing-masing lapisan tanah menyimpan kisah kehidupan sendiri.
Dari formasi Pucangan diketahui bahwa lingkungan laut Sangiran berubah menjadi rawa- rawa. Perubahan ini diperkirakan setelah ada letusan Gunung Lawu purba yang endapan vulkaniknya bercampur dengan laut Sangiran. Dari formasi Kabuh diketahui, lingkungan Sangiran berubah total menjadi daratan dan kawasan hutan terbuka. Lapisan tanah itu kini bisa dilihat di Museum Sangiran.
Anne Marie Semah dari Museum National d’Histoire Naturelle Perancis mengatakan, lingkungan alam Sangiran pada masa itu sangat subur. Kawasan itu berbentuk hutan terbuka dengan pepohonan besar. Sungai yang mengalir membelah Sangiran membawa endapan vulkanik dan menyuburkan daerah sekitarnya. Vegetasi alam purba ini kemudian menarik perhatian para ahli paleoenvironment yang meneliti lingkungan purba dan kaitannya dengan penghuni masa itu.
Pada masa itu, 800.000- 400.000 tahun lalu, Homo erectus di Jawa mengalami masa keemasan. Setelah itu, Homo erectus makin berkurang dan punah sekitar 150.000 tahun lalu. Homo erectus Jawa, atau dalam pelajaran geografi dulu disebut Pithecanthropus erectus, mengalami evolusi terus-menerus.
Berdasarkan periode kehidupan, para ahli menemukan ada tiga jenis Homo erectus, yaitu Homo erectus arkaik yang hidup 1,5 juta-1 juta tahun lalu, Homo erectus tipik (900.000- 300.000 tahun lalu), dan Homo erectus progresif, yaitu spesies paling akhir hidup di Indonesia pada 200.000-100.000 tahun lalu.
Munculnya Homo Sapiens
Setelah Homo erectus progresif punah, para ilmuwan menemukan jejak manusia lain yang disebut spesies Homo sapiens. Bentuk tengkorak manusia ini lebih bulat dan volume otaknya lebih besar. Sampai sekarang, para ahli di dunia masih terus mencari ”rantai” yang menghubungkan antara Homo sapiens dan Homo erectus.
Di Sangiran tak ditemukan bukti yang mengaitkan Homo sapiens merupakan perkembangan evolutif dari Homo erectus. Jadi, setelah Homo erectus punah, sepertinya ada spesies lain yang tiba-tiba muncul, yaitu Homo sapiens, nenek moyang manusia modern.
Jejak yang membuktikan bahwa Homo sapiens merupakan bentuk evolutif dari Homo erectus malah ditemukan di Liang Bua, Flores.Selain fosil manusia, Sangiran juga menyimpan banyak fosil binatang. Fosil itu mudah ditemukan pada berbagai formasi tanah, mulai dari formasi Kalibeng, Pucangan, Grenzbank, Kabuh, hingga Notopuro.
Fosil-fosil binatang ini terserak di Sangiran. Ketika terjadi longsor di lereng bukit, fosil-fosil binatang ikut muncul ke permukaan. Jenis binatang yang ditemukan sangat beragam, seperti reptil, binatang air, ataupun vertebrata. Berbagai temuan menggambarkan evolusi fauna yang pernah terjadi di Sangiran selama lebih dari 1 juta tahun.Karena menjadi sumber ilmu pengetahuan yang tidak pernah habis untuk digali, sejak tahun 1977, Pemerintah Indonesia menetapkan Sangiran sebagai kawasan cagar budaya.
Tahun 1995, Sangiran diakui dunia sebagai warisan budaya dan warisan alam oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Sangiran sampai sekarang masih menyimpan banyak harta terpendam yang siap digali untuk ilmu pengetahuan.